Sabtu, 29 Desember 2012

Berhenti Merokok

Sebelumnya saya mohon maaf kepada teman-teman yang masih bekerja di pabrik rokok, kepada petani yang menggantungkan hidupnya dari menanam tembakau, kepada teman teman yang juga menggantungkan hidupnya dari menjual rokok.

Sebenarnya semua orang sudah tahu apakah rokok itu, yaitu rajangan tembakau yang sudah difermentasikan yang digulung dengan menggunakan kertas atau klobot atau juga daun enau. Dan cara menikmatinya adalah dengan membakar salah satu ujung gulungan dan menghisap asapnya.

Dulu saya adalah seorang perokok, awalnya pada saat mulai masuk SMA -- kalau sekarang SMU, mulanya hanya ikut-ikutan, pengen gagah-gagahan. Mulanya dikasih teman sebatang rokok, pertama dihisap langsung batuk-batuk, diketawain, malu. Besoknya diam diam beli sendiri dan mencoba cara agar tidak sampai batuk lagi, takut diketawain lagi. Dan kebiasaan itu terus berlanjut, tanpa diketahui kedua orang tua, karena bapak akan sangat marah jika mengetahui saya telah jadi perokok juga seperti halnya beliau.

Dan terus berlanjut hingga saat saya bekerja, dan tentunya, semakin bebas menentukan pilihan rokok apa saja yang bisa saya nikmati, Dan saya sampe hapal merk rokoknya dari hanya mencium aroma asap rokoknya, Dan sampai saat itu saya belum merasakan manfaat sebenarnya dari merokok, yang saya tahu saya harus merokok saat sehabis makan, nongkrong di toilet, nongkrong sama teman-teman, dan saat harus menunggu waktu, dan saat sedang pikiran sedang kacau -- walaupun itu sebenarnya tidak membantu sama sekali, yang ada malah nambahin hutang rokok di warung.

Sebenarnya, istri juga tidak menyukai kebiasaan merokok saya, tapi berhubung ada perasaan ego jadi saya abaikan perasaan istri, bahkan saya sangat marah saat ia mencoba menasehati agar saya berhenti merokok, karena menurut saya kalau orang mau sakit, tanpa merokok pun jika waktunya sakit , ya sakit-lah. Dan dengan berhenti merokok pun belum tentu membuat orang miskin jadi kaya. Itulah pola fikir saya saat itu.Dan hal itu mulai berubah 'sedikit' saat saya ngobrol dengan seorang teman kerja yang sudah lebih dulu berhenti merokok.

Dan bertambah 'sedikit' lagi saat saya pulang kampung, menjenguk bapak, yang hingga saat ini tetap sulit untuk berhenti merokok, walaupun dikamarnya kulihat banyak inhaler --obat asma-- berbaris di kotak obat.

Yah, setelah saya hitung-hitung uang yang saya habiskan untuk rokok dalam sebulan, ternyata sama besarnya dengan harga dua karung beras, dan jika dihitung harian ternyata jajan rokok saya lebih besar dari jajan anak-anak saya. Dan bagi saya yang mewarisi 'asma' tentu membuat saya berfikir ulang untuk meneruskan kebiasaan merokok. Kalo bagi bapak saya tidak masalah baginya untuk menebus inhaler, walaupun sudah pensiun bapak masih dijamin oleh Askes, Tapi bagi saya yang bekerja di perusahaan swasta tentunya tidak akan dijamin lagi oleh Jamsostek bila sudah pensiun.

Ahirnya saya punya alasan untuk berhenti merokok. Namun kenyataannya tidak segampang teorinya.

Ada begitu banyak tantangan dan alasan untuk berhenti merokok. Biasanya tantangan itu datang dari teman yang masih merokok.